Selasa, 30 November 2010

TIDAK JIJIK DENGAN MAKANAN SISA ISTRI

Assalaamu ‘alaikum wa rohmatullohi wa barokaatuh,

Kesetiaan dan keteguhan antara suami istri amat susah untuk ditafsirkan. Pun begitu, apabila suami dan istri mampu makan dari satu bekas, ataupun suami makan sisa makanan istri, atau istri makan sisa makanan suami, seakan-akan tergambar satu watak bahwa antara suami dan istri itu tidak wujud perasaan jijik sesama mereka.

Rupa-rupanya tindakan seperti itu merupakan pengamalan Nabi SAW dengan para istri baginda. Ini dapat dibuktikan pada hadis Aisyah yang berbunyi, sbb;

كُنْتُ أَشْرَبُ مِنْ الْقَدَحِ وَأَنَا حَائِضٌ فَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ فَيَشْرَبُ مِنْهُ

Maksudnya;
”aku minum air daripada satu bekas, ketika itu aku sedang datang bulan, lalu Nabi SAW mengambil bekas minumanku itu dan meletakkan mulut baginda pada tempat aku meletakkan mulut pada bekas tersebut[1]”

Hadis ini jelas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi SAW tidak menjadikan bekas mulut istrinya sebagai jijik, walapun ketika itu istri Baginda sedang datang bulan.

Bukan sekadar itu saja, bahkan jika diperhatikan kepada hadis lain, didapati baginda juga makan makanan dari kesan gigitan istri.

Ini dapat dibuktikan dengan sambungan hadis di atas yang menyebut;

وَأَتَعَرَّقُ مِنْ الْعَرْقِ وَأَنَا حَائِضٌ فَأُنَاوِلَهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ

Maksudnya;
”Aku mengigit sepotong daging, lalu sisa gigitan itu diambil oleh Nabi SAW, lalu baginda pun mengigitnya pada bahagian yang aku gigit tadi”

Nah !!! betapa romantiknya Nabi SAW dengan istri. Lebihan makanan mereka tidak dijadikan sebagai sesuatu yang menghalang Nabi untuk makan dari makanan tersebut.

Dengan hadis ini, teladan yang boleh diambil adalah, bagaimana Nabi SAW telah menjadikan makanan sebagai cara untuk melahirkan perasaan mesra antara suami istri.
Tindakan begini juga sebenarnya telah melahirkan perasaan cinta yang teguh. Bersama meremajakan dan menghangatkan lagi perasaan sayang, lebih-lebih lagi dalam mengarungi kehidupan rumah tangga yang penuh dengan ujian.

Disamping itu juga, tindakan begini sebenarnya dapat melahirkan kesetiaan dan keyakinan yang penuh antara kedua suami dan istri. Ini kerana, itu tergambar melalui perasaan tidak berkira atau tidak merasa jijik dan keji terhadap lebihan makanan dan minuman antara pasangan sehingga menganggap ianya seperti lebihan makanan sendiri.
Jika keadaan ini sering berlaku, ia menunjukkan betapa kukuh dan teguhnya perasaan cinta antara dua suami istri, dan ini juga menjadi bukti nyata bahwa cinta dan sayang yang lahir dari kedua-dua suami dan istri tersebut adalah cinta yang ikhlas dan sejati.

Oleh itu, suami dan istri sepatutnya menjadikan tindakan Nabi SAW ini sebagai teladan demi melahirkan perasaan cinta yang tidak hipokrit, lebih-lebih lagi bagi mencari redha Allah SWT.

Demikian, wassalaamu ’alaikum wa rohmatullohi wa barokaatuh.
[1] Sunan An-Nasai : 377.

Sabtu, 13 November 2010

KISAH CINTA NABI SAW : SERI 11 MINTA PANDANGAN ISTRI KETIKA BERPAKAIAN

Assalaamu ‘alaikm warohmatullohi wa barokaatuh,

Sebagai seorang Nabi yang menjabat jabatan pemimpin sebuah negara, berpakaian rapih merupakan satu kepentingan. Ini karena, semua tindak tanduk Nabi SAW pasti akan ditiru.
Berpakaian seragam bukan bermakna berpakaian yang berharga mahal, tetapi cukup berpakaian yang bersih dan pakaian itu sesuai dengan pemakainya. Kesesuaian pada sudut ukuran, warna pakaian dengan warna kulit dan sebagainya.

Bahkan, jika diperhatikan kepada hadis-hadis Nabi, kita akan dapati berpakaian rapih ini merupakan satu tuntutan, bahkan ianya disukai oleh Allah SWT.

Sabda Nabi SAW;

والله جميل يحب الجمال

Maksudnya;
”Allah adalah tuhan yang maha indah, amat suka kepada keindahan[1]”

Rapih sebahagian dari keindahan dan kecantikan. Oleh karena itulah, ia merupakan kesukaan bagi Allah SWT terhadap hambanya.

Dalam hal itu pula, kita akan dapati, Baginda SAW adalah manusia yang selalu rapih mana kala di rumah, maupun di luar rumah. Baginda SAW rapih dirumah sebagai melahirkan kecintaan para istri melihat baginda, bahkan diluar nabi juga rapih untuk melahirkan penghormatan umat terhadap baginda SAW, juteru mereka juga akan meniru untuk menjadi rapih.

Didapati, baginda SAW dikala mau keluar rumah, Nabi SAW akan mengenakan pakaian rapih, lalu untuk memastikan kerapihan baginda itu bersesuaian dengan pakaian yang dikenakan, Baginda SAW akan bertanya terlebih dahulu kepada istrinya.

Hal ini dirujuk kepada hadis yang diriwayatkan daripada Hamid bin Hilal berkata ;

لبس رسول الله صلى الله عليه وسلم بردة سوداء فقال يا عائشة كيف ترين قالت فقلت : ما أحسنها عليك شيب بياضك بسوادها وشيب سوادها ببياضك ، فخرج فيها فعرق فوجد منها ريحا فرجع فنزعها

Maksudnya;
“Rasulullah SAW memakai pakaian serba hitam, lalu bertanya kepada Aisyah; “apa pandangan kamu Wahai Aisyah?” berkata; “alangkah rapihnya kamu apabila kulit putih kamu dengan hitam pakaian itu, dan hitamnya dengan putih kamu. Nabi SAW pun keluar dan didapati beginda berpeluh, maka semerbak lah bau wangi. Lalu baginda pulang dan memecat pakaiannya tadi[2]”

Hadis ini membuktikan kepada kita bahwa, Nabi SAW sering bertanya kepada istrinya tentang pakaian yang dikenakan baginda, apakah ianya bersesuaian atau tidak.

Tindakan bertanya pandangan istri tentang pakaian yang hendak dipakai ini, merupakan salah satu cara untuk melahirkan perasaan dihargai dalam diri istri. Istri pasti akan berbangga apabila dihargai sebegitu, lebih-lebih lagi jika suami mereka adalah manusia yang menjadi model untuk manusia tiru. Sudah pasti istri itu akan berfikir, orang meniru suaminya, pada hakikatnya meniru hasil dari pendapat dan pandangan yang dikemukakan terhadap suaminya.

Menelaah kepada hadis ini, selayaknya para suami menjadikan ianya sebagai teladan. Tidak perlu malu untuk bertanya pandangan istri tentang pakaian yang dipakai. Di samping itu juga, para istri hendaklah bersedia memberikan pendapat yang bernas dan jujur dalam menentukan bentuk pakaian yang mau di pakai oleh suami.

Jika ini boleh di amalkan, sudah pasti kemesraan dan kebahagiaan dalam rumah tangga akan berhasil, lebih-lebih lagi dalam usaha mencapai ridho Allah SWT dalam mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga.

Wassalaamu ’alaikum warohmatullohi wa barokaatuh,

[1] Al-Mustadrak ‘Ala Sahihain : 68.
[2] Musnad Ishaq bin Rahawiyyah : 1530.

KISAH KASIH SAYANG NABI SAW DALAM KELUARGA: SERI 10 (tambahan)

TAMBAHAN

Air sedikit dijadikan berwudu’ adalah perkara yang dikhilafi oleh ulama. Menurut pendapat Imam Syafii Qadim, yaitu pendapat Imam As-Syafii keluarkan semasa berada di Iraq, bahwa air sedikit boleh dijadikan sebagai air wudu’.

Adapun pendapat Imam As-Syafii semasa di Mesir, atau dikenali Qaul Jadid Imam As-Syafie, beliau berfatwa bahwa air yang sedikit memungkinkan berlaku air musta’mal yang dilarang digunakan untuk berwudu’.

Definisi Air Musta’mal menurut Syafiiyyah adalah;

“Air sedikit yang digunakan pada fardu taharah daripada hadas, seperti basuhan pertama, mandi jinabah dan sebagainya[4]”

Mengikut pendapat Syafiyyah Jadid, tetesan air bagi basuhan sunat yang kedua dan ketiga ketika berwudu’ atau mandi jinabah, tidak dikira sebagai air musta’mal.

Dikira sebagai air musta’mal juga, sekiranya basuhan tersebut dari basuhan wajib bagi wudu’ kanak-kanak.

Mengikut Mazhab Syafii yang jadid, hukum air musta’mal adalah suci dan tidak boleh menyucikan. Maknanya, air musta’mal tidak boleh dijadikan sebagai air untuk berwudu’ dan mandi.

Dalil yang dipegang oleh mereka adalah hadis;

عن مُحَمَّدِ بن الْمُنْكَدِرِ قال سمعت جَابِرًا يقول جاء رسول اللَّهِ (ص) يَعُودُنِي وأنا مَرِيضٌ لَا أَعْقِلُ فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَيَّ من وَضُوئِهِ

Maksudnya;
“Daripada Muhammad bin Al-Mungkadir berkata, Aku dengan Jabir berkata, telah datang Rasulullah SAW menziarahiku ketika aku sedang sakit. Lalu baginda berwudu’ dan menuangkan kepadaku air wudu’nya (aku menadah air wudu’ nabi SAW)[5]”

Mengikut ulasan Mazhab Syafii jadid, mereka mengatakan hadis ini dianngap bahwa tadahan air itu bukanlah untuk dijadikan wudu’, tetapi dijadikan sebagai minuman, kerana dizaman tersebut, kekurangan air amat teruk[6]. Oleh itu, air tersebut tidak dijadikan sebagai berwudu’, tetapi digunakan untuk minuman. Dengan itu, air kesan wudu’ nabi itu adalah air musta’mal yang tidak boleh digunakan untuk berwudu’.

Walaubagaimanapun, mengikut satu riwayat mazhab Syafii dan Malik, mereka berpendapat bahwa air musta’mal tetap dikira seperti air mutlaq juga, yaitu airnya suci dan menyucikan[7].

Mereka berdalilkan kepada hadis;

عن الرُّبَيِّعِ أَنَّ النبي (ص) مَسَحَ بِرَأْسِهِ من فَضْلِ مَاءٍ كان في يَدِهِ

Maksudnya;
“Daripada Rubai’, Sesungguhnya Nabi SAW menyapu kepalanya daripada air yang tersisa ditangannya[8]”

Wassalaamu ‘alikum warohmatullohi wabarokaatuh,

[1] Siyar Al-‘Alam Wa An-Nubala : 2/261. Aun Al-Ma’bud : 1/97.
[2] Sunan Abi Daud : 71.
[3] Aun Al-Ma’bud : 1/97.
[4] Al-Fiqh Al-islami Wa Adillatuh (1/123)
[5] Saheh Al-bukhari (1/82) hadis no : 191.
[6] Al-Fiqh Al-islami Wa Adillatuh (1/124)
[7] Fiqh As-Sunnah (1/23)
[8] Sunan Abi Daud (1/32) hadis no : 130.

KISAH KASIH SAYANG NABI SAW DALAM KELUARGA: SERI 10

BEREBUT-REBUT DENGAN ISTRI KETIKA BERWUDU’

Assalaamu ‘alaikum warohmatullohi wabarokaatuh,

Pada pandangan umum menyatakan bahwa bermesraan dengan istri hanya berlaku di atas ranjang tidur, sedangkan bermesraan dengan istri itu tidak semestinya di ranjang saja, bahkan di mana-mana pun boleh bermesraan dengan istri.
Bermesraan merupakan cara untuk melahirkan perasaan kasih dan sayang antara dua suami dan istri. Bagi melahirkan perasaan itu, Islam membenarkan ianya berlaku, walaupun dikala mau melakukan ibadat.
Ini dapat dilihat dengan hadis Ummu Subayyah Al-Juhaniyyah atau nama sebenarnya Khaulah binti Qais yang merupakan salah seorang Istri Nabi SAW[1] pernah berkata;

اخْتَلَفَتْ يَدِي وَيَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوُضُوءِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ

Maksudnya;
”tanganku dan tangan Rasulullah SAW sering berselisih ketika berwudlu’ daripada satu bekas[2]”

Yang dimaksudkan dengan tangan Ummu Subaiyyah dan tangan Nabi SAW berselisih adalah, kadangkala Ummu Subaiyyah menaguk air dengan kedua tangannya dari bekas tersebut, lalu diikuti oleh Nabi SAW, dan kadangkala Nabi SAW meneguk air dengan kedua belah tangan Baginda, lalu diikuti oleh Ummu Subayyah[3].

Ada ulama lain menyatakan, perselisihan tangan yang berlaku ketika berwudlu antara Rasulullah SAW dengan Ummu Sabiyyah itu sehingga mereka berebut-rebut sehingga Ummu Sabiyyah tidak mendapat air untuk berwudlu’, lalu meminta Rasulullah SAW agar air itu disimpan sedikit untuknya.

Memahami dari ulasan-ulasan ulama-ulama hadis ini, amat jelas kepada kita bahwa Baginda SAW tidak sekadar menjadikan masa di ranjang saja tempat untuk bermesraan dengan istri, bahkan kadangkala Baginda SAW juga mengambil kesempatan dalam beberapa keadaan ibadat, yaitu berwudu’ untuk bergurau dan bermesraan dengan istri.

Kepada kaum lelaki yang mau melahirkan kehidupan rumah tangga yang meriah dan gembira, selayaknya menjadikan hadis ini sebagai panduan. Bergurau dengan istri dikala berwudu’ ini, tidak semestinya dilakukan selalu, tetapi dalam sebulan sekali, dalam masa dua minggu sekali dan sebagainya.
Jika ini dapat dilakukan oleh para suami, pasti istri akan merasa bahagia hidup bersama suaminya itu. ini karena, suaminya sering mewujudkan suasana sendau gurau yang melahirkan kemesraan hidup antara suami istri.